Saturday, April 30, 2016

Shalat Berjama'ah

Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah hukumnya fardhu kifayah bagi laki-laki merdeka, menetap (tidak musafir) dan mempunyai pakaian. Hal ini merupakan suatu pemandangan indah yang mencerminkan syi’ar Islam dan ukhuwah islamiyah (persaudaraan), sesungguhnya orang islam itu bersaudara.
Shalat jama’ah pahalnya lebih dari shalat sendiri dengan 27 kali lipat ganjaran (pahala), sesuai dengan sabda Rasulallah saw:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ الْقَاصِيَةَ (أبو داود والنسائي بإسناد صحيح)
Dari Abu ad-Darda’ ra:  ”Tiada tiga orangpun di dalam sebuah desa atau lembah yang tidak didirikan di sana shalat jama’ah, melainkan mereka telah dipengaruhi oleh setan, karena itu hendaklah kamu membiasakan shalat jama’ah, sebab serigala itu hanya menerkam kambing yang terpencil dari kawannya. (HR Abu Daud dan an-Nasai’ dangan sanad shahih).
Sekurang kurangnya berjama’ah adalah imam dan makmum, sesuai dengan hadits Nabi saw:
عَنْ مَالِك ابْنِ الحُوَيْرِث رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَصَاحِبٌ لِي فَلَمَّا أَرَدْنَا اْلإِقْفَالَ مِنْ عِنْدِهِ قَالَ لَنَا إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَأَذِّنَا ثُمَّ أَقِيْمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا (رواه الشيخان)
Dari Malik ibnu al-Huwairits ra, ia berkata ”Aku dan temanku datang kepada Rasulallah saw, kemudian sewaktu aku permisi beliau bersabda : jika datang waktu shalat maka ucapkanlah adzan dan iqamah dan pilihlah yang paling tua diantara kalian sebagai imam” (HR Bukhari Muslim).
Keterangan: sedikit dikitnya sholat berjama’ah ialah imam dan ma’mum dan sebanyak banyaknya tidak terbatas.
Syarat berjama’ah
1- Keyakinan ma’mum akan kesempurnaan shalat imamnya, yaitu ma’mum tidak mengetahui batalnya shalat imam dengan sebab hadats atau yang lainnya.
2- Ma’mum harus berada dibelakang imam dalam kedudukanya, yaitu posisi ma`mum tidak melebihi tempat berdiri imam
3- Ma’mum harus mengetahui gerak gerik imamnya yaitu makmum harus mengetahui perpindahan gerakan shalat imam, dan mengikuti gerakannya. Gerakan makmum tidak mendahului gerakan imam.
عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ  لِيُؤْتَمَّ بِهِ (رواه الشيخان)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: ”Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti” (HR Bukhari Muslim)
4- Jarak imam dan ma’mum harus tidak berjauhan, yaitu 300 hasta (144 m) jika dilakukan di luar masjid (di lapangan), jarak ini dimulai dari akhir mesjid kecuali di dalam masjid karena masjid merupakan tempat berkumpul untuk shalat
5- Ma`mum wajib berniat mengikuti imam atau niat berjama`ah, sedang imam tidak wajib niat berjamaah tapi sunah dilakukanya atau sering juga disebut mustahab yaitu sesuatu perbuatan yang dicintai Allah dan Rasul Nya agar mendapat fadhilahnya berjama’ah
6- Harus ada kecocokan kedua sholat imam dan ma’mum, maksudnya kalau imam shalat dhuhur demikian pula ma’mum tidak boleh berbeda
7- Imam harus bertakbir sebelum makmum, yaitu makmum tidak boleh bertakbiratul ihram kecuali setelah imam selesai takbiratul ihram. Begitu pula gerakan-gerakan shalat lainnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ وَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا (رواه الشيخان)
Dari Abu Hurairah, Rasulallah saw bersabda: “sesunggunguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti, jika ia bertakbir maka bertakbirlah, jika ia ruku’ maka ruku’lah, jika ia berkata: (Sami’aallahu liam hamidah) maka ucapkalah: (Rabbana wa lakal hamdu), dan jika ia sujud maka sujudlah” (HR Bukhari Muslim)
8- Ma’mum harus tidak mendahulukan imam atau mengakhirinya dari dua rukun tanpa udzur atau halangan, karena keduanya bertentangan dengan syarat berjama’ah sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra yang tersebut di atas. Adapun mendahulukan imam dengan satu rukun dengan tidak sengaja tidak membatalkan shalat, dan haram jika dilakukan dengan segaja
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ أَوْ لَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَار أو يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw ”Apakah salah seorang diantara kamu tidak takut jika ia mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan menjadikan kepalanya itu seperti kepala keledai, atau Allah akan mengubah bentuknya menjadi seperti bentuk keledai.” (HR Bukhari Muslim dari Abu Huraira ra)

Siapa yang berhak menjadi Imam?
Jika di suatu desa terdapat masjid maka yang lebih berhak menjadi imam adalah kepala desa
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ (رواه مسلم)
Sesuai dengan sabda Nabi saw dari Abu Mas’ud ra: ”tidak bemakmum pemimpin kepada seorang dalam kekuasannya”  (HR Muslim).
Kemudian jika terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid.
لِمَا رُوِيَ أَنَّ ابْنَ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا كَانَ لَهُ مَوْلًى يُصَلِّي فِي مَسْجِدٍ فَحَضَرَ فَقَدَّمَهُ مَوْلاَهُ ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَر : أَنْتَ أَحَقَّ بِالإِمَامَةِ فِي مَسْجِدِكَ (الشافعي)
Diriwayatkan sesungguhnya Ibnu Umar ra mempunyai pembantu yang selalu mengimami di masjid, lalu beliau datang dan menyuruh pembantunya menjadi imam, ia berkata ”Kamu lebih berhak menjadi imam di masjidmu” (HR Imam Syafie).
Jika kita bertamu ke rumah seseorang maka yang berhak menjadi imam adalah shaibul bait (pemilik rumah).
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: قال رَسُولُ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ (رواه مسلم)
Dari Abu Mas’ud ra, sabda Nabi saw ”Seseorang tidak boleh menjadi imam di dalam keluarga seseorang atau didalam kekuasanya dan tidak boleh duduk di majlisnya kecuali dengan seizinnya”. (HR Muslim).
Kalau tidak ada atau tidak mampu, maka yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memahami pengetahuan agama Islam. Jika tidak ada maka yang didahulukan adalah orang yang lebih banyak memiliki hafalan al Quran. Jika tidak ada juga maka yang ditunjuk menjadi imam orang yang salih.  Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih dahulu berhijrah,. Apa bila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.
عن أَبِي مَسْعُودٍ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وفي رواية فَأَكْبَرُهُمْ سِنًّا (رواه مسلم)
Dari Abu Mas’ud ra, Rasulallah saw bersabda: Yang ditunjuk menjadi imam adalah orang yang baik bacaannya (al-Qur’an), jika mereka semuanya sama maka yang ditujuk orang memahami agama, jika mereka semuanya sama maka ditunjuk orang yang lebih dahulu berhijrah, jika mereka sama juga, maka didahulukan orang yang lebih tua usianya (HR. Muslim)
Setelah itu dipilih dari garis keturunan,
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هَذَا الشَّأْنِ مُسْلِمُهُمْ لِمُسْلِمِهِمْ وَكَافِرُهُمْ لِكَافِرِهِمْ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: Manusia itu mengikuti kaum Quraish dalam segala urusannya, yang muslim mengikuti kaum Quraish muslim, dan yang kafir mengikuti kaum Quraish yang kafir (HR Muslim)
Kemudian setelah itu yang dipilih menjadi imam orang adil karena berimam kepada yang fasik hukumnya makruh. Kemudian dipilih orang dewasa, lalu orang yang bermuqim, karena yang bermuqim shalatnya sempurna, sedang musafir boleh mengqashar shalatnya. Kemudian laki-laki, karena tidak sah shalat laki-laki yang diimami oleh perempuan, begitu pula tidak sah shalat seorang qari’ berimam kepada orang yang bacaan fatihahnya tidak fasih, karena imam bertanggung jawab atas shalat makmumnya.
Sunah Dalam Shalat Berjama’ah
1- Meluruskan shaf. Imam harus memerintahkan para jama’ahnya untuk meluruskan shaf dan harus meyakinkannya.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْتَدِلُوا فِي صُفُوفِكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، قَالَ أَنَسٌ : فَلَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْصِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ (الشيخان)
Sabda Rasulallah saw dari Anas ra ” ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian dan rapatkanlah, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”, Anas ra berkata ”sesungguhnya aku telah melihat salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan menempelkan kakinya dengan kaki temannya.” (HR Muttafaqun ’alaih).
2- Mengutamakan duduk di shaf awal.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا (الشيخان)
Sesuai dengan sabda Rasulullah saw dari Abu Hurairah: ”Seandainya manusia mengetahui keutamaan panggilan adzan dan shaf awal kemudian tidaklah mereka bisa mendapatinya kecuali dengan berundi, pastilah mereka berundi”. (HR Muttafaqun ’alaih)
3- Menjaga agar bisa shalat berjama’ah bersama imam dan mengikutinya dari takbiratul ihram.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ  لِيُؤْتَمَّ به فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا (الشيخان):
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra: ”Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti” (HR Bukhari Muslim)
4- Disunahkan bagi imam agar meringankan dalam bacaan dan dzikirnya di samping itu ia tidak meninggalkan sunah-sunah ab’adh dan haiat sedikitpun.
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ , وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ (رواه الشيخان)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: ”Jika sesorang shalat dengan manusia, maka ringankanlah karena diantara mereka ada yang lemah, yang sakit dan orang  yang ada kebutuhan. Jika ia bershalat sendiri maka panjangkanlah sesukanya” (HR Muttafaqun ’alaih)
5- Jika terasa ada yang datang ingin bermakmum kepada imam, dan imam dalam posisi ruku’ atau tasyahud akhir, maka disunahkan bagi imam agar menunggunya sampai ia ruku’ atau tasyahud akhri bersama imam. Hal ini agar yang baru datang itu mendapat satu raka’at atau medapatkan pahala berjama’ah bersama imam. Ini lebih utama bagi imam sesuai dengan sunnah Nabi saw.
6- jika yang bershalat jama’ah hanya imam dan mamum, maka posisi mamum berada di sebelah kanan imam, sejajar tapi mundur sedikit kebelakang.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ: بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ … ثُمَّ قَامَ ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ (رواه البخاري)
Sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas ra, ia berkata ”Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah (istri Nabi saw)… Rasulallah saw bagung shalat maka aku datang shalat bersama beliau, aku berdiri di samping kirinya, lalu beliau menempatkan aku di sebelah kanannya (HR Bukhari ).
Jika datang orang ketiga ingin shalat berjamaah bersama imam maka mamum mundur kebelakang atau imam maju kedepan dan orang yang ketiga masuk dalam shaf.
عَنْ جَابِر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ النَبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقُمْتُ عَنْ يَسَارِه ، فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ، ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ (رواه مسلم)
Dari Jabir ra, ia berkata: ”Aku berdiri shalat di samping kiri Rasulallah saw. Maka beliau menarik diriku dan dijadikan di samping kanannya. Tiba-tiba Jabbar bin Shakhr berwudhu dan datang (untuk shalat), ia berdiri di sebelah kiri beliau, lalu beliau mendorong kami ke belakang sehingga berbaris di belakang beliau. (HR Muslim)
7- jika yang shalat semuanya wanita maka imam wanita berdiri di tengah mamum wanita
لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ وَ أُمَّ سَلَمَة رَضِيَ الله عَنْهُمَا أمّتا نِسَاءً فَقَامَتَا وَسَطَهُنّ (الشافعي و البيهقي بإسناد حسنين)
Sesuai dengan riwayat bahwa Aisyah ra dan Ummu Salamah ra shalat menjadi imam bagi kaum wanita dan beliau berdiri di tengah shaf (HR As-Syafie dan al-Baihaqi dengan sanad shahih)
Udzur (Halangan) Shalat Berjama’ah
Shalat jama’ah harus dilakukan dalam keadaan apapun kecuali jika terdapat beberpa udzur, diantaranya:
  • Dalam keadaan hujan, becek dan angin kencang di malam gelap
عَنِ ابْنَ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قال إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan Hadist Rasulallah saw dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw. pernah memerintahkan seorang muazin dalam malam yang dingin dan hujan agar shalat di rumah. (HR Muttafaun ‘alaih)
  • Dalam keadaan sangat lapar dan haus dan dihadapannya hidangan makanan dan minuman
  • Menahan buang air besar dan kecil sedang waktu masih panjang untuk shalat.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ (رواه مسلم)
Dari Aisyah ra, ia berkata: aku mendengar Rasulallah saw bersabda “tidak dilaksanakan shalat apabila makanan telah dihidangkan dan apabila menahan kedua hadats (kecil dan besar)” (HR Muslim)
  • Sakit yang membuatnya sulit untuk shalat berjama’ah
Allah berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ – الحجر ﴿٧٨﴾

Artinya: ”dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam  agama suatu kesempitan.” (Qs Al-Hajj ayat: 78)
  • Merawat orang sakit, karena melindungi jiwa seorang manusia yang lebih baik daripada menjaga berjama’ah.
  • Menjaga orang yang sedang sakarat agar bisa diketahui kematiannya
  • Perjalanan ke masjid tidak aman karena takut terancam jiwa dan harta
Comments
0 Comments

No comments :

Post a Comment