Saturday, April 30, 2016

Sholat Musafir

Shalat Musafir
Rukhshah (izin): ialah hukum yang merobah dari kesulitan menjadi kemudahan.
Musafir: ialah seorang Muslim yang keluar dari negerinya ke negeri lain dengan maksud mengerjakan sesuatu yang dibolehkan dalam agama seperti bermusafir karena menuntut ilmu, melaksanakan tugas agama seperti menunaikan Ibadat Haji, menziarahi keluarga atau mencari rezeki yang halal untuk memenuhi keperluan keluarganya dan negeri yang dituju harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Maka pada saat itu dibolehkan baginya meng-gashar (mengurangi) shalatnya.
Allah berfirman
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوّاً مُّبِيناً – النساء ﴿١٠١﴾
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.  Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” an-Nisa’ 101.
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ ، قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: { لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ، إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا } فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ، فَقَالَ: عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتُ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ (رواه مسلم)
Dari Y’ala bin Umayyah ra bahwasanya ia bertanya kepada Umar bin Khathab ra  tentang ayat ini seraya berkata: “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir, padahal manusia telah aman”. Umar ra menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah saw tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim).
Rukhshah (izin) Orang Musafir
  • Diizinkan bagi orang musafir untuk mengurangi (qashar) shalat-shalat wajib dari empat raka’at mejadi dua raka’at yaitu shalat Dhuhur, shalat Ashar dan shalat Isya’
  • Diizinkan taqdim (mendahulukan) shalat yaitu taqdim shalat Ashar diwaktu Dhuhur dan taqdim shalat Isya’ diwaktu Maghrib
  • Diizinkan takhir (menunda) shalat yaitu menunda (takhir) sholat Dhuhur diwaktu Ashar dan menunda (takhir) sholat Maghrib diwaktu Isya’
  • Diizinkan baginya tidak melakukan shalat Jum’at atau tidak wajib baginya sholat Jum’at jika ia keluar dari negerinya sebelum sholat fajar di hari Jum’at dan harus menggantikannya dengan shalat Dhuhur dua raka’at (diqasarkan).
  • Diizinkan baginya untuk berbuka puasa dibulan Ramadhan yaitu bagi musafir diizinkan baginya untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib baginya meng-qadha (membayar) puasanya pada bulan-bulan yang lain tanpa membayar fidyah.

Kapan Mulai dan Selesai Shalat Musafir
  • Permualaan shalat musafir dimulai dari jika ia keluar sebagai musafir dan sudah melewati perbatasan negerinya.
  • Selesainya shalat musafir dimulai dari jika ia kembali dari perjalananya dan sudah memasuki perbatasan negerinya
Semua ini dilakukan dengan niat beriqamah (menetap) selama 4 hari 4 malam bagi yang mempunyai keperluan biasa tidak termasuk hari masuk dan hari keluarnya musafir. Bagi yang menunggu suatu penyelesaian, yaitu jika musafir tinggal di sebuah daerah untuk menunggu selesainya urusan yang diperkirakan (selesai) sebelum empat hari (namun ternyata perkiraan itu meleset dan ternyata lebih dari empat hari) maka pendapat yang shahih menurut madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i adalah boleh mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari.
عَنْ عِمْرَان بْنِ حُصَيْن رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ : غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَهِدْتُ مَعَهُ الْفَتْحَ ، فَأَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِي عَشْرَةَ لَيْلَةً لَا يُصَلِّي إِلَّا رَكْعَتَيْنِ ، وَيَقُولُ : يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ (رواه أبو داود و البيهقي وحسنه الترمذي)
Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Imran bin al-Hushain ra ia berkata ”Kami berperang bersama Rasulallah saw dan menyaksikan fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan kami duduk di Makkah 18 hari, kami tidak shalat keculai dua raka’at (diqashar). Rasulallah saw bersabda ”Wahai penduduk Makkah beshalatlah kalian 4 raka’at sesungguhnya kami orang orang yang bermusafir”. (HR Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dan At-Tirmidzi mejadikan hadits ini hasan)
Syarat mengurangi (meng-qashar) shalat
1- Negeri yang dituju harus ditentukan. Hal ini agar bisa diketahui apakah boleh mengqashar shalatnya atau tidak.
2- Maksud perjalanannya harus mubah bukan untuk bermaksiat, karena rukhshah (izin) untuk mengqashar shalat dibolehkan bagi musafir yang bukan bertujuan untuk maksiat.
Allah berfirman
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ – المائدة ﴿٣﴾
”Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” al-Maidah,3
3- Negeri yang dituju harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Ada perselisihan jarak menurut jumhur ulama. Menurut imam Syafie Jarak negeri yang dituju harus 4 barid (80.64 Km), yakni harus lebih dari 80.64 km.
عن ابْنَ عُمَرَ وَابْنَ عَبَّاسٍ كَانَا يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَهَا (البيهقي بإسناد صحيح)
Sesuai dengan riwayat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra bershalat dua raka’at dan tidak berpuasa dalam bepergian lebih dari 4 barid” (HR Baihaqi dengan isnad shahih).
عَنْ عَطَاءٍ , قَالَ : سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ , فَقُلْتُ : أَقْصُرُ الصَّلاةَ إِلَى عَرَفَةَ ؟ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: إِلَى مِنًى ؟ قَالَ: لاَ، , وَلَكِنْ إِلَى جُدَّةَ وَإِلَى عَسْفَان وَإِلَى الطَّائِفِ (الشافعي و البيهقي بإسناد صحيح)
Begitu pula menurut riwayat Atha’, dia bertanya kepada Ibnu Abbas ”Apakah aku menqashar shalatku jika aku bepergian ke Arafah?” ia menjawab ”Tidak”. Kemudian Atha’ bertanya ”Kalau ke Mina?”, ia menjawab ”Tidak. Tapi ke jeddah, ke Asfan dan ke Taif (boleh mengqashar)” (HR As-Syafie dan al-Baihaqi dengan sanad yang shahih).
Dari hadist ini kita bisa mengambil istimbath bahwa jarak antara Makkah ke Thaif atau ke jeddah atau ke Asfan adalah 4 barid (lebih dari 80.64 km) .
4- Shalat yang diqashar (dikurangi) harus shalat shalat yang bilangan raka’atnya empat raka’at yaitu shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’, sesuai dengan ijma ulama
5- Harus melakukan niat mengurangi (mengqashar) shalatnya sewaktu takbiratul ihram, karena asal shalat yang diqashar adalah empat raka’at, maka jika ingin diqashar menjadi dua raka’at harus diniati sebelum takbiratul ihram.
6- Tidak boleh bermakmum dibelakang orang yang shalatnya sempurna
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَما سُئِلَ : مَا بَالُ الْمُسَافِرِ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ إذَا انْفَرَدَ وَأَرْبَعًا إذَا ائْتَمَّ بِمُقِيمٍ ؟ فَقَالَ تِلْكَ السُّنَّةُ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra, ia ditanya: kenapa musafir bershalat dua raka’at jika sendiri dan empat raka’at jika berma’mum kepada yang bermukim? Ia menjawab ”itu adalah sunnah” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan sunnah adalah sunah Nabi saw.
Keterangan (Ta’liq):
Niat qashar (mengurangi) shalat ialah
نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا للهِ تَعَالَى اللهُ أَكْبَرْ
Artinya: ”Aku niat shalat Dhuhur dua raka’t dengan mengqasharnya karena Allah Ta’ala Allahu Akbar”
Menjam’a (Menggabung) Shalat
Bagi musafir boleh mejama’ (menggabung) antara dua shalat yaitu menggabungkan antara shalat dhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya’ dan dikerjakan dalam waktu salah satunya yaitu boleh dikerjakan dalam waktu dhuhur atau dalam waktu ashar begitu pula dalam waktu maghrib atau dalam waktu isya.
Jadi seorang musafir boleh men-jama’ (menggabung) shalatnya baik jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas ra ia berkata ”sesungguhnya Rasulallah saw menjama’ (menggabung) antara maghrib dan isya’ jika dalam perjalanan (HR Muttafaqun ’alih).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه الشيخان)
Begitu pula hadits dari Anas bin Malik ra.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barat, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan menjama’ (menggabung) keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan. (HR Bukhari Muslim).
Syarat Mendahulukan (Men-taqdim) Shalat
  1. Shalat yang pertama harus didahulukan baru setelah itu shalat yang kedua (shalat Dhuhur lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat Ashar, begitu pula shalat Maghrib lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat isya’)
  1. Harus niat menggabung (jama’) antara shalat pertama dan kedua dan niat dilakukan waktu melakukan shalat pertama. (Lihat niat dibawah)
  1.  Kedua shalat harus dilakukan secara berturut-turut (tertib) yaitu tidak boleh ditunda terlalu lama atau jangan diselangi dengan waktu yang panjang. Karena kedua shalat dianggap satu shalat. Rasulallah saw sewaktu menjama’ kedua shalat beliau lakukan secara berturut-turut dan tidak melakukan shalat sunnah antara kedua shalat
  1. Harus masih dalam keadaan musafir sewaktu melakukan shalat kedua.
Keterangan:
Niat mendahulukan (men-takdim) shalat, yaitu mentakdim shalat Ashar dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Dzuhur di waktu Dhuhur atau mentakdim shalat Isya’ dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Maghrib di waktu Maghrib.
نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ رَكْعًتَيْنِ جَمْعًا بِالعَصْرِ تَقْدِيْمًا وَقَصْرًا للهِ تَعَالَى
Artinya: “Saya berniat sholat dhuhur dua raka’at jama’ taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah ”
Syarat Menunda (Men-takhir) Shalat
  1. Niat menunda (men-takhir) shalat pertama ke dalam shalat kedua, misalnya niat menunda shalat Dhuhur ke waktu shalat Ashar (masuknya waktu sholat dhuhur dalam keadaan tidak shalat), begitu pula niat menunda shalat Maghrib ke waktu shalat Isya’ (masuknya waktu shalat Maghrib dalam keadaan tidak shalat)
  1. Harus masih dalam keadaan musafir saat selesai sholat kedua
Keterangan:
Niat menunda (men-takhir) shalat, yaitu menunda (mentakhir) shalat Dzuhur dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Ashar di waktu Ashar atau menunda (mentakhir) shalat Maghrib dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Isya’ di waktu Isya’
نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ  رَكْعًتَيْنِ جَمْعًا بِالعَصْرِ تَأخِيْرًا وَقَصْرًا للهِ تَعَالَى
Artinya: “Saya berniat sholat dhuhur dua raka’at jama’ takhir dengan ashar dan diqashar karena Allah”
Men-jamak (Menggabung) Shalat Ketika Hujan
Shalat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah. Jika suatu ketika hujan turun, boleh men-jamak (menggabung) shalat di masjid antara zhuhur dan ashar, juga maghrib dan Isya. Hal ini sebagai rukhshah. Bahkan dianjurkan untuk men-jamak shalat dalam rangka memudahkan mereka dan mendapat kesulitan jika keluar. Atau mereka boleh mengerjakan shalat sendiri sendiri di rumah dan tidak melaksanakanya berjama’ah di masjid.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلا سَفَرٍ (رواه الشيخان)
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: Sesungguhnya Rasulallah saw menjamak antara dzuhur dan ashar dan antara maghrib dan isya’  di Madinah tidak karena rasa takut (waktu perang) atau pepergian (safar) – HR Bukhari Muslim. Yang dimaksud disini mejamak shalat ketika turun hujan
Comments
0 Comments

No comments :

Post a Comment